Padahal, ujar Dr Gerard Paat, MPH, setinggi apa pun frekuensi berintim-intim tak selalu bisa dikategorikan hiperseks. Contoh jelas bisa dilihat pada pasangan pengantin baru atau mereka yang terpisah cukup jauh dengan tenggang waktu lama. "Biasanya, aktivitas hubungan seks mereka, kan, jadi tinggi. Namun tingginya frekuensi ini lebih diwarnai oleh tingginya dorongan atau kebutuhan seksual semata-mata, bukan oleh sebab-sebab tertentu yang menjadi ciri utama perilaku hiperseks," terang konsultan seksologi di Biro Konsultasi Kesejahteraan Keluarga RS St. Carolus, Jakarta ini.
Buat pasangan yang baru menikah, lanjutnya, aktivitas berintim-intim jadi sangat menarik dan menyenangkan karena merupakan sesuatu yang baru. "Sama saja seperti nyopir. Begitu bisa, seseorang yang tengah belajar nyopir, kan, pasti pingin terus nyopir."
Tak ubahnya pula dengan anak kecil yang mendapat mainan baru. Namun lama-kelamaan, daya tarik dan kenikmatan barang baru tersebut akan berkurang seiring waktu berjalan. Begitu pula hubungan seks. "Awalnya tentu menyenangkan memiliki pasangan dengan dorongan seks tinggi. Tapi lama-kelamaan, kan, pasangannya kewalahan dan merasa amat terganggu karena sangat menyita waktu dan energinya."
Jadi, tegas ketua Dewan Pendidikan Yayasan Pondok Indah Don Bosco ini, bila kedua belah pihak merasakan dorongan/kebutuhan seksual yang sama-sama hiper, sebetulnya frekuensi yang tinggi tak perlu dipermasalahkan. Baru dianggap jadi masalah bila salah satu menderita dibuatnya, lantaran dorongan seksual yang berlebihan tadi membuat pasangannya selalu minta dilayani atau malah mencemari hubungan suami-istri secara umum, semisal jadi ribut terus. Bukankah berintim-intim harusnya diinginkan kedua belah pihak dan bisa saling memuaskan?
Ciri dan penyebab
Memang, diakui Gerard, dari frekuensi hubungan seks bisa dilihat apakah seseorang hiperseks atau tidak, yakni bila frekuensinya melebihi ukuran normal. Meskipun begitu, tolok ukur normal dan abnormal juga berbeda pada tiap orang. Bagi pasangan A, misal, yang dikatakan normal mungkin cukup berintim-intim 1-2 kali seminggu. Tak demikian dengan pasangan B, boleh jadi 3-4 kali seminggu baru dikatakan normal. Nah, dari ukuran normal ini, bila terjadi peningkatan drastis, semisal jadi 3-4 kali sehari atau rata-rata 20 kali per minggu, barulah bisa dicurigai salah seorang di antara mereka menderita kelainan/gangguan seksual yang dinamakan hiperseks. Penderitanya bisa pria, bisa juga wanita.
Selain frekuensi hubungan seks yang sangat tinggi, harus pula diperhatikan ada-tidak ciri promiscuity (kecenderungan berganti-ganti pasangan) sebelum mencurigai pasangan menderita hiperseks. Tentunya, bila benar ia menderita hiperseks, harus minta bantuan ahli. Soalnya, kualitas berintim-intim pada suami-istri yang salah satunya menderita hiperseks, tak sebagus dengan yang dilakukan atas dasar sukarela atau suka sama suka.
"Motivasinya, kan, bukan untuk saling melayani berdasarkan cinta kasih dan saling memuaskan, melainkan karena kekhawatiran-kekhawatiran tertentu semisal khawatir pasangan berpaling bahkan berselingkuh dengan orang lain. Sedangkan tujuan si hiperseks sendiri juga hanya untuk memenuhi dorongan seksualnya yang bersifat sesaat," tutur Gerard.
Maka, harus dicari tahu apakah hubungan tersebut dilandasi perasaan cinta. Wanita butuh suasana emosional yang kondusif untuk bisa berintim-intim. Sementara hubungan seksual yang sehat hanya bisa terwujud bila kedua belah pihak menjadikan seks itu sendiri sebagai bagian dari ikatan cinta mereka berdua. Menurut Gerard, kalau memang kita tengah dalam kondisi tak siap untuk memenuhi kebutuhan seks pasangan yang hiperseks, semisal lagi capek, ya, tak perlu dipenuhi atau dituruti.
Perlunya bantuan ahli juga didasarkan pertimbangan penderita hiperseks tak disarankan mengobati diri sendiri. Apalagi penyebabnya amat beragam, hingga dibutuhkan pengobatan yang simultan atau bersamaan sekaligus antara pengobatan medis atau fisik, dan psikoterapi atau terapi kejiwaan.
"Penderita hiperseks bisa diberikan obat-obatan untuk mengurangi nafsu atau dorongan seksnya, di samping obat penenang," bilang Gerard. Sementara psikoterapi dibutuhkan karena hiperseks biasanya menimbulkan konflik dengan pasangan gara-gara pasangannya tak mau diajak berhubungan seks sementara dorongannya sudah begitu menggebu.
Disarankan pengobatan dilakukan bukan hanya oleh si penderita, tapi juga pasangannya mengingat dampaknya dirasakan oleh kedua belah pihak. Pengertian dari pasangan jelas sangat dibutuhkan, semisal dengan berinisiatif mengajak berobat. "Penderita hiperseks pasti mau menerima tawaran tersebut karena dia sendiri juga menyadari perilakunya tak bisa dibenarkan. Dia enggak merasa bangga, kok, dengan kondisi hiperseksnya, apalagi kalau harus clash kiri dan kanan," paparnya.
Menurut Gerard, si penderita sendiri justru merasa sedih dan tersiksa karena dia berusaha keras menahan dorongan seksual yang berlebihan, tapi tak kuasa bila keluhannya sudah tergolong parah. "Jadi, pasangan yang hiperseks sebetulnya bukan orang egois seperti yang kerap 'dituduhkan' banyak orang," tegasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar