Paparan asap kendaraan bermotor, rokok, tumpukan debu, bakteri yang
menempel di bantal, dan obat nyamuk bisa memicu asma, penyakit
penyempitan saluran pernapasan yang dapat diturunkan secara genetis. Tak
heran jika terjadi peningkatan angka penderita asma berat di kota-kota
besar yang memiliki kualitas udara yang buruk.
"Menurut
penelitian, semakin banyak penderita asma masuk kategori berat, sekitar
20 persen. Ini dipengaruhi kualitas udara yang semakin buruk, pasien
yang kurang telaten mengontrol asma, serta munculnya penyakit lain
seperti alergi berat, dan sinusitis," ujar ahli paru RS Asri Prof dr
Hadiarto Mangunnegoro, SpP, FCCP.
Meski udara di kota-kota besar
semakin tidak berkualitas, mereka yang mengidap asma dapat mengontrol
kondisinya agar tak mudah kambuh, dengan mematuhi pengobatan dari
dokter. Namun sayang, 88 persen pasien asma tidak mematuhi pengobatan
dengan teratur sejak awal terapi.
Inhaler adalah obat asma yang
lazim digunakan karena efeknya melegakan. Tapi, inhaler hanya bersifat
menjaga dan melegakan ketika serangan asma datang. Sedangkan untuk
mengontrol asma, atau mengubah asma berat menjadi terkontrol, pasien
dianjurkan untuk mengonsumsi kombinasi inhaler dan controller.
Menurut
Prof Hadi, pengobatan tanpa controller secara rutin hanya akan
menghabiskan biaya lebih mahal karena asma akan terus menerus kambuh.
Sementara
masih banyak pasien yang melanggar penggunaan inhaler dengan benar.
Sekitar 10 hingga 18 persen pasien tidak mematuhi penggunaan inhaler.
Ada yang tidak benar dalam menggunakannya, ada pula yang dengan
sendirinya menambah dosis inhaler.
Padahal, penggunaan inhaler
berlebih tanpa resep dokter dapat berdampak pada kesehatan paru-paru.
"Jika mengonsumsi steroid inhaler secara berlebih, bisa saja terdapat
flek di dalam paru-parunya," ujarnya.
Karena itulah, pengobatan
asma saat ini lebih menitikberatkan pada peningkatan penggunaan
controller yang memberikan efek jangka panjang, dan mengontrol dengan
sedikit steroid inhaler.
Selain ketidakpatuhan pasien pada
pengobatan, ada beberapa faktor risiko lain yang dapat memicu asma
seperti sinusitis, alergi berat, obesitas, gangguan pita suara, gangguan
tidur, dan gangguan psikologis. Dengan banyaknya faktor risiko, dokter
pun dituntut tidak boleh asal dalam mendiagnosis. Salah-salah, pasien
semakin salah kaprah dengan pengobatan yang benar.
Untuk
mendapatkan diagnosis yang baik, dokter pun harus melakukan pemeriksaan
menyeluruh. Karenanya, jangan heran jika dokter meminta Anda untuk
melakukan pemeriksaan fisik, foto rontgen torax dan sinus,
tes fungsi
paru-paru, uji bronkodilator, tes lab, tes alergi, tes penggunaan
inhaler, serta menanyakan riwayat penyakit Anda untuk mengetahui
penyebab asma, termasuk faktor psikologis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar