Seperti telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya, setinggi apa pun frekuensi berintim-intim tak selalu bisa dikategorikan hiperseks.
Pada pasangan pengantin baru atau mereka yang terpisah cukup jauh
dengan tenggang waktu lama, biasanya, aktivitas hubungan seks menjadi
tinggi. Namun tingginya frekuensi tersebut lebih diwarnai oleh tingginya
dorongan atau kebutuhan seksual semata-mata, bukan oleh sebab-sebab
tertentu yang menjadi ciri utama perilaku hiperseks, demikian menurut Dr
Gerard Paat, MPH, konsultan seksologi di Biro Konsultasi Kesejahteraan
Keluarga RS St. Carolus, Jakarta.
Dari frekuensi hubungan seks
memang bisa dilihat apakah seseorang hiperseks atau tidak, yakni bila
frekuensinya melebihi ukuran normal. Dari ukuran normal ini, bila
terjadi peningkatan drastis, semisal jadi 3-4 kali sehari atau rata-rata
20 kali per minggu, barulah bisa dicurigai salah seorang di antara
mereka menderita kelainan/gangguan seksual yang dinamakan hiperseks.
Penderitanya bisa pria, bisa juga wanita.
Lalu bagaimana tanda-tanda hiperseks pada pria maupun wanita?
Hiperseks pada pria
Disebut satyriasis,
disebabkan faktor fisik maupun psikis. Dari aspek fisik, salah satunya,
peradangan di saluran kemih yang merangsang kerja saluran tersebut
sedemikian rupa hingga individu bersangkutan terkesan "haus" untuk
selalu berintim-intim. Penyebab peradangan ini harus segera ditemukan
agar bisa dipastikan upaya penyembuhannya. Soalnya, bila tak segera
diobati, dikhawatirkan peradangan tersebut akan meluas menjadi
peradangan di buah zakar. Tentu saja peradangan pada "pabrik" sperma ini
akan berpengaruh pada hubungan seksual, di antaranya mengganggu
produksi hormon testosteron.
Sementara aspek psikis bisa berupa
ketidaknyamanan dalam diri yang membuat kebutuhan akan kedekatan dengan
pasangan meningkat tajam. Tak tertutup kemungkinan ia menderita konsep
diri yang sangat rendah hingga khawatir tak mendapat perhatian dari
pasangan. Untuk menutupi perasaan tak amannya, ia lantas berusaha keras
menunjukkan keperkasaan di ranjang sebagai satu-satunya kelebihan yang
ia miliki. Atau sebaliknya, membangun "pertahanan" dengan kecurigaan
berlebih, semisal mencurigai pasangan ada main dengan orang lain, tapi
ia tetap menuntut aktivitas berintim-intim lebih sering dari biasanya.
Penyebab
lain, aktivitas berintim-intim dijadikan satu-satunya cara
berkomunikasi karena merasa tak mampu membuka diri atau menjalin
komunikasi dengan baik. Bisa pula karena terbiasa memanfaatkan aktivitas
berintim-intim sebagai sarana pelepas ketegangan, seperti yang kerap
terjadi pada pekerja-pekerja yang bidang pekerjaannya dirasa memiliki
tingkat stres amat tinggi. Atau, lantaran tak terpenuhinya keinginan
atau harapan seksual yang bersangkutan.
Ketidakpuasan atau bahkan
ketiadaan aktivitas yang satu ini kemudian menimbulkan masalah-masalah
psikologis, seperti gelisah terus-menerus, susah tidur, dan cenderung
marah-marah tanpa sebab. Ketidakjelasan kondisi psikis ini akan
menyeretnya untuk terus mencari dan mencari kepuasan seks.
Sayangnya,
upaya pencarian akan pemenuhan kebutuhan seksual tersebut kerap
ditempuh lewat jalur-jalur di luar ketentuan masyarakat, semisal dengan
"jajan" atau malah berselingkuh. Hingga, kondisi ini kemudian
memunculkan ciri hiperseks selanjutnya, yaitu promiscuity atau
kecenderungan berganti-ganti pasangan. Ia menempuh cara tersebut
lantaran menganggap pasangannya tak bisa melayaninya lagi, atau malah
"kasihan" pada pasangan.
Hiperseks pada wanita
Disebut nymphomania,
disebabkan sepenuhnya oleh faktor psikis. Salah satunya berakar pada
penyimpangan sewaktu usia balita sampai remaja, semisal menyaksikan
bagaimana ibunya kerap dipukuli atau disiksa ayahnya. Berbekal
pengalaman buruk inilah, semasa dewasa ia merasa butuh pendamping yang
berbeda atau lebih baik dari ayahnya. Namun dalam pencarian itu, ia tak
bisa menemukan nilai-nilai kebaikan pada satu orang, hingga bergaullah
ia dengan banyak orang untuk mencari dan terus mencari orang yang dirasa
pas.
Padahal, pria yang diidamkan takkan pernah kunjung datang.
Bukankah untuk menemukan orang yang sama persis atau malah bertolak
belakang sungguh tak mudah? Selalu akan ada saja satu atau dua pria yang
memenuhi kriteria fisik, tapi kepribadiannya meragukan. Atau secara
aspek kepribadian cocok, tapi aspek lain tak cocok. Ketidakcocokan ini
menimbulkan sederet ketidakpuasan yang mendorongnya mencari dan terus
mencari, hingga akhirnya membentuk semacam kebiasaan pada tubuh.
Celakanya,
kalau ia sudah terpengaruh atau minimal mengenal hubungan seks,
kebiasaannya untuk berganti-ganti pasangan makin membuatnya nyandu atau
ketagihan seks. Sama halnya dengan kebiasaan merokok yang bisa
menyebabkan ketagihan. Bukan semata-mata karena nikotin, melainkan pola
kebiasaan itu sendiri. Hingga, kala harus berhenti merokok akan sulit
sekali dilakukan. Minimal ia akan tetap pegang rokok meski tak diisap,
atau tetap diisap tanpa harus dinyalakan. Bisa pula hubungan seks ini
dipakai sebagai senjata untuk "memancing" pria yang semula dianggapnya
sebagai pria idaman. Hingga bisa dikatakan, dorongan seks yang
berlebihan sebetulnya merupakan pemuasan kejiwaan belaka.
Kasus
serupa bisa pula dialami pria. Misalnya, si Buyung melihat bapaknya
sering dilecehkan hingga akhirnya dia berusaha membalas dendam pada
wanita dengan menyetubuhi siapa saja hanya untuk dicampakkan begitu
saja. Hingga gonta-ganti pasangan dijadikan sarana untuk mencari
kenikmatan psikis yang bisa memuaskan nafsu balas dendamnya.
Selain frekuensi hubungan seks yang sangat tinggi, harus diperhatikan ada-tidaknya ciri promiscuity,
sebelum mencurigai pasangan menderita hiperseks. Maka, bila benar salah
satu dari pasangan menderita hiperseks, Anda harus minta bantuan ahli.
Bagaimanapun, kualitas berintim-intim pada suami-istri yang salah
satunya menderita hiperseks, tak sebagus dengan yang dilakukan atas
dasar sukarela atau suka sama suka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar