KAUM perempuan bisa menjadi agen pencegah korupsi dan suporter untuk gerakan antikorupsi dalam peran-peran yang mereka mainkan. Perilaku koruptif berdampak negatif bagi semua kalangan, terutama bagi perempuan dan anak-anak yang merupakan kelompok marjinal.
''Kaum perempuan sangat strategis untuk upaya advokasi antikorupsi. Kalau kita bicara tentang korupsi, sebetulnya tidak ada dimensi gender. Perempuan itu bisa menjadi pelaku, bisa juga berpotensi menjadi korban. Kita lihat banyak sekali kasus perempuan melakukan korupsi, dan juga banyak perempuan menjadi korban korupsi,'' ujar Ani Soetjipto, tim ahli Yayasan Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan (GPSP) dan juga dosen FISIP Universitas Indonesia.
Selama ini, perempuan diasumsikan lebih telaten dan berisiko lebih kecil melakukan korupsi. Padahal, anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. ''Selama ini akses perempuan di dunia publik baru hadir belakangan. Yang lebih dulu ada berpastisipasi kebanyakan laki-laki. Jadi, tidak kelihatan.''
Tapi, ketika akses itu dibuka dan perempuan sudah mulai bisa masuk ke ruang-ruang publik, mereka ternyata sama rentannya.
Menurut Ani, sangat penting untuk membahas peran perempuan dalam gerakan antikorupsi. ''Pertama, korupsi itu akan berdampak pada habisnya dan berkurangnya dana-dana untuk kesejahteraan rakyat. Itu berarti pelanggaran dari HAM ekonomi sosial.''
Semua orang, imbuhnya, berhak atas hak-hak dasar seperti hak-hak pendidikan, hak-hak kesehatan, hak-hak untuk lingkungan yang baik dan bersih. Ketika sumber-sumber dana itu dikorupsi, yang paling menjadi korban adalah dana-dana kesejahteraan rakyat.
''Kita sudah menyaksikan di Indonesia ini, betapa dengan korupsi alokasi anggaran yang diperutukkan bagi kesejahteraan rakyat itu banyak berkurang. Dan di mana kesejahteraan itu yang paling rentan terkena adalah perempuan dan anak-anak, kelompok yang marjinal.''
Perilaku koruptif
Selain itu, perilaku koruptif juga bisa menghalangi akses perempuan untuk naik ke posisi-posisi penting karena KKN. ''Kita melihat yang namanya korupsi itu dimensinya sangat luas, bukan hanya mengambil duit dari laci tapi juga KKN, berbohong, termasuk juga pelanggaran-pelanggaran jabatan publik untuk kepentingan pribadi.''
Ani menambahkan, seorang perempuan untuk bisa dicalonkan menjadi bupati, caleg, dan sebagainya harus menempuh jalan yang berliku dan tidak mulus. ''Walau pun ada aturan formal di Undang-Undang, tapi ada mekanisme informal yang juga bekerja. Untuk bisa menembus itu, kadang-kadang ada aturan yang tidak transparan. Padahal, transparansi dan akuntabilitias itu juga bagian yang tak terpisahkan kalau kita bicara tentang korupsi.''
Menurut Ani, perempuan memiliki posisi strategis dalam gerakan antikorupsi. Ada sejumlah alasan yang mendasarinya. Pertama, perempuan memainkan tiga peran gender yang berbeda, yakni di ranah publik, privat, dan komunitas. ''Biasanya, perempuan itu diasosiasikan menjalankan peran gender di rumah tangga, di privat. Apa yang bisa dilakukan perempuan di dalam lingkup privat rumah tangganya? Dia bisa mencegah, menjadi bufer di awal di tingkat yang paling basic, di tingkat rumah tangga untuk pencegahan korupsi dan mendidik anak-anaknya untuk jujur.''
Dalam lingkup kerja publik, ujar Ani, perempuan juga banyak berhadapan dengan korupsi yang dianggap sebagai bagian wajar dari kehidupan sehari-harhi. Misalnya, ketika dikenakan pungutan saat mengurus KTP atau SIM. ''Kita mengganggap itu bukan korupsi, karena kecil atau tanda terima kasih. Padahal kan bukan. Hal-hal seperti ini seharusnya juga bisa disuarakan oleh perempuan.''
Selama ini, Ani menyayangkan, yang menjadi kelemahan utama gerakan antikorupsi di Indonesia adalah karena bergerak sendiri-sendiri. Akibatnya, pencapaian yang dihasilkan sangat terbatas. ''Bayangkan kalau kita itu bersinergi, magnitude untuk perubahannya bisa lebih besar, lebih dahsyat,'' pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar